Selasa, 03 Januari 2012

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG MASALAH
Tasauf falsafi adlalah tasauf yang ajarannya-ajarannya memadukan antara visi dan mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasauwufakhlaqi, tasauf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafitersebut berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.[1]
Tasawuf ada beberapa aliran, seperti tasawuf Akhlaqi, tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafi. Adapula yang membagi tasawuf kedalam tasawuf 'Amali, tasawuf Falsafi dan tasawuf 'Ilmi. Akan tetapi dalam makalah kecil ini hanya akan dibahas secara lebih fokus tentang tasawuf Falsafi saja.
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
B.     Rumusan Masalah
Bagaimanakah perbandingan antara pebandingan tasawuf falsafi dengan tasawuf yang lain.
C.     Tujuan Penulian Ini Agar Kita Dapat Memahami-
1.        Apa itu tasauf falsafi menurut tokoh-tokoh
2.        Bagaimana sejarah tasauf falsafi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (يلمعا ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (رطنا ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Dari adanya aliran tasawuf falsafi ini menurut saya sehingga muncullah ambiguitas-ambiguitas dalam pemahaman tentang asal mula tasawuf itu sendiri. kemudian muncul bebrapa teori yang mengungkapkan asal mula adanya ajaran tasawuf. Pertama; tasawuf itu murni dari Islam bukan dari pengaruh dari non- Islam. Kedua; tasawuf itu adalah kombinasi dari ajaran Islam dengan non-Islam seperti Nasrani, Hidu-Budha, filsafat Barat (gnotisisme). Ketiga; bahwa tasawuf itu bukan dari ajaran Islam atau pun yang lainnya melainkan independent.
Teori pertama yang mengatakan bahwa tasawuf itu murni dari Islam dengan berlandaskan QS. Qaf ayat 16 yang artinya “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahuapa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada dilehernya”. Ayat ini bukan hanya sebagai bukti atau dasar bahwa tasawuf itu murni dari Islam meliankan salah satu ajaran yang utama dalam tasawuf yaitu wihdatul wujud. Kemudian kami juga mengutip pendapat salah satu tokoh tasawuf yang terkenal yaitu Abu Qasim Junnaid Al-Baqdady, menurutnya “yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang yang mengetahui seluruh kandungan al-qur’an dan sunnah”. Jadi menurut ahli sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik ‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari al- qur’an dan sunnah. Maka jelas bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang tidak di syari’atkan oleh nabi akan tetapi beliau juga mempraktikkannya. Buktinya sejak zaman beliau (nabi Muhammada-red) juga ada kelompok yang mengasingkan diri dari dunia, sehingga untuk menjaga kekhusuan mereka beliau memberi mereka tempat kepada mereka di belakang muruh nabi. Meskipun istilah tasawuf itu belum ada tapi dapat di sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan diri pada Allah-red) sudah ada sejak zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri sejatinya adalah seorang sufi yang sejati.
Kemudian pendapat kedua yang mengatakan bahwa tasawuf adala kombinasi dari ajaran Islam dengan yang lainnya (non-Islam). Mereka memberi contoh beberapa ajaran yang ada di tasawuf sama dengan aliran (ajaran) lain, misal;
sumber dari Nasrani:
1.      Konsep Tawakal
2.      Peranan Syekh
3.      Adanya ajaran tentang menehan diri tidak menikah.
Abu Qasim Junnaid Al-Baqdady, menurutnya “yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang yang mengetahui seluruh kandungan al-qur’an dan sunnah”. Jadi menurut ahli sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik ‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari al- qur’an dan sunnah. Maka jelas bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang tidak di syari’atkan oleh nabi akan tetapi beliau juga mempraktikkannya. Buktinya sejak zaman beliau (nabi Muhammada-red) juga ada kelompok yang mengasingkan diri dari dunia, sehingga untuk menjaga kekhusuan mereka beliau memberi mereka tempat kepada mereka di belakang muruh nabi. Meskipun istilah tasawuf itu belum ada tapi dapat di sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan diri pada Allah-red) sudah ada sejak zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri sejatinya adalah seorang sufi yang sejati. Kemudian pendapat kedua yang mengatakan bahwa tasawuf adala kombinasi dari ajaran Islam dengan yang lainnya (non-Islam). Mereka memberi contoh beberapa ajaran yang ada di tasawuf sama dengan aliran (ajaran) lain, misal;
sumber dari Nasrani:
1.Konsep Tawakal
2.Peranan Syekh
3.Adanya ajaran tentang menehan diri tidak menikah.
sumber Hindu:
1. Al-fanah = Nirwana
2. Zuhud = menjahui dunia

sumber Yunani (fil. Barat):

1. Filsafat Ilmu jiwa
2. Filsafat Phytagoras
3. Filsafat Plotinus
4. Termasuk juga gnotisisme.
Dari sinilah nampak ada kemiripan dalam ajaran setiapa masing yang diakibatkan dari akulturasi sehingga terjadi penjumboan (bersatu) antara ajaran Islam dalam tasawuf dengan yang lain.
Pendapat yang ketiga ini yang mengatakan tasawuf itu bukan dari mana-mana yaitu independen, dengan berdasarkan dengan kisah bahwa pada waktu itu ada seorang raja yang hidup bergelimpangan dengan harta namun dia masih mengalami ketegangan dalam hidupdalam artian jiwanya belum tenang, akhirnya atas nasihat dari seseorang yang dia temui di hutan saat berburu mencoba
mengasingkan diri ke bhutan dan meninggalkan semua hartanya. sehingga dari sini dapat di tarik bahwa tasawuf muncul untuk mengatasi kebosan seseorang dari kehidupan dunia tanpa adanya spiritualitas dalam jiwa sehingga mengalami kekeringan jiwa, yang kemudian diisi kembali dengan nilai spiritualitas dengan menjahui kehidupan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dari pemaparan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf itu benar-benar asali (murni) dari ajaran Islam yang tidak di syari’atkan atau di sunnahkan oleh nabi meskipun beliau juga melakukanya. Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari akulturasi ajaran lain termasuk gnotis itu juga tidak bisa disalahkan, sebab adanya pengklasifikasian tasawuf sehingga muncul beberapa tasawuf, seperti tasawuf sunni, salafi dan tasawuf falsafi membuat determinasi diantaranya. maka jikalau dikatakan tasawuf adalah akulturasi antara Islam dengan yang lain itu termasuk tasawuf falsafi yang mana telah mengedepankan asas rasio sehingga berbaur dengan fisafat-filsafat yang ada di ajaran lain, dimana dalam menganalisis tasawuf dengan paham emanasi Neo- platonisme dalam semua fariasi baik dari Ibn Sina samapai Mulla Shadra.
B.     Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlawi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi gilosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut at-taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak tiu, tasawuf jenis ini tersu hidup dan berkembang, terutamadi kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.[2] Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini dengan senidirnya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar islam, seperti yunani, persia, india, dan agama nashari. Akan tetapi, orisianiltasnya sebagai tasawuf tetap tidak hlang. Sebab, meskipun mempunya latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi islam, yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaham menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, teruutama bla dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat islam. Sikap ini dengna sendirinya dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu igih mempromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam tersebut ke dalam tasawif mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajran tasawuf yang mereka anut.
Masih menurut at-taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.[3] Tasawuf falsafi tidak dapat di pandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan padarasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula di kategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajrannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[4]
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat yunani seta berbagai aliran seperti socrates, plato, aristoteles, alira stoa, dan aliran neo-platonisme, dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan, mereka pun cukup akbar dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang karya-karyanya banyak di terjemahkan ke dalam bahasa arab dan filsafat-filsafat timur kuno, baik dari persia maupun india, serta filsafat-filsafat islam, seperti yang diajarkan oleh al-farabidan ibn sina. Mereka pun dipengaruhi aliran batiniah sekte isma'iliyyah aliran syi’ah dan risalah-risalah ikhwan ash-shafa’.[5]
Tasauf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasauf sunni. Dalam hal ini, ibnu khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh at-taftazani,[6] dalam karyanya al-muqaddimah menyimpulkan bahwa ada emapat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain sebagi berikut.
Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, instusi serta intropeksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq) para sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi sunni, sebab, masalah tersebut, menurut ibnu khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat di tolak oleh siapapun.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptanya. Serta pencipatannya. Mengenai ilminasi ini, para sufi yang juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengna jalan menggiatkan dzikir. Dengan dzikir, menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathayyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, ataupun menginterprestasikannya dengan interprestasi yang berbeda-beda...
Selain karakteristik umu di atas, tasawuf filosofis mempunyai beberapa karakteristik secara khusu di antaranya:
Pertama: tasawuf filosofi banyak mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional-filosfis dan perasaan (dzauq). Meskipun demikian, tasauf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah, tetapi dengan interprestasi dan ungkapan yang samar-samar sulit di pahami orang lain. Kalaupun dapat diinterprestsikan orang lain, interprestasi itu cenderung kurang tepat dan lebih bersifat subjektif.
Kedua seperti halnya tasauf jenis lain, tasauf filosofis didasakan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah) yang di maksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan.
Ketiga tasawuf filosofi memandang iluminasi sebagi metode untk mengetahui berbagai hakikat tealitas, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana.
Keempat, para penganut tasawuf filosofi ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.
Perlu di catat, dalam beberapa segi, para sufi-filosof ini melebihi para sufi sunni. Hal ini disebabkan oleh bberapa hal. Pertama, mereka adalah para teoritisi yang baik tentang wujud, sebagaimana terlihat dalam karya-karya atau pusis-pusisi mereka. Untuk yang satu ini, mereka tidak menggunakan ungkapan-ungkapan syathadiyat. Kedua kelihaian mereka menggunakan simbo-simbol sehingga ajarannya tidak begitu saja dapat di pahami orang lain di luar mereka. Ketiga, kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilmunuya.[7]
Di antar tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah ibnu arabi, al-jili, ibn sb’in, dan ibn masarrah.
C. Tokoh  tasawuf falsafi
1.      Ibn ‘Arabi (560-638)
a.      Biografi Singkat Ibn’arabi
Nama lengkap ibn ‘arabi adalah muhammad bin ‘ali bin ahmad bin ‘abdullah ath-tha’i al-haitami. Ia lahir di mercia, andalusia tenggara, spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal di sana pada tahun 638 H. Namaya biasa di sebut tanpa Al untuk membedakan dengan abu bakar tanpa “al” untuk membedakan dengan abu bakar ibn al-‘arabi seorang qadhi dari sevilla yang wafat tahun 543 H. Di sevilla (spanyol), ia mempelajari al-Qur’an, hadis serta fiqih pada sejumlah murid andalusia terkenal, yakni ibn hazm az-zhahiri.[8]
b.      Ajarn-ajarn tasawuf ibn’arabi
Wahdat al-wujud
Ajaran sentral ibn ‘ibn arabi adalah tentang wahdat al-wujud (keastuan wujud). Meskipun demkian, istilah wahdat al-wujud yang di pakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari ibnu taimiyah, tokoh yang hwahdat al-wujud untuk menyebut ajaran sentral ibn ‘arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdar al-wujud.
Menurut ibnu taimiyah wadah al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam menurut penjelasannya, orang yang mempunya paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang di miliki oleh khliq juga mukmin al-wujud yabg di miliki oleh makhluk, selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada perbedaan.[9]
Dari pengertian tersebut, ibn taimiyah telah menilai ajarn sentral ibn ‘arabi dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari asek tanzihnya (penyusia khaliq). Sebag, kedua aspek tiu terdapat dalam ajaran ibn ‘arabi akan tetapi , perlu pula di dasari bahwa kata-kata ibn ‘arabi. Banyak membawa pada pengertian seperti yang pahami oleh ibn taimiyah meskipun di tempat lain terdapat kata-kata inb ‘arabi yang membedakan antara khaliw dengan makhluk dan antara tuhan dengan alam.  
Demi syu’ur (perasaa) ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) tuhan juga. Atau engkau katakan tuhan, lalu siapa yang di bebani talif?” Kalau di antara khaliq dan makhluk beratu dalam wujidnya, megapa terlihat dua? Ibn ‘arabi menjawab, sebab adalah manusia tidak memandangnya darisisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi lain. Jika mereka merasa memandang keduanya dari sisi yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduannya, yakni dzatnya satu yang tidak terbiang dan berpisah.[10]
c.       Haqiqah muhamaddiyah
Dari konsep wahdat ibn ‘arabi muncul lagi dua konsep sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu konsep al-hakikat al muhamaddiyah dan konsep wahdat al-dyan (kesamaan agama) Menurut ibn ‘arabi, tuhan adalah pencipat alam semsesta adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut:
1)      Tajalli dzat tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
2)      Tanzul kepada dzat tuhan ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad
3)      Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4)      Tanazul tuhan dalam bentk ide materi yang bukan materi yaitu alam mistal atau khayal.
5)      Alam materi, yaitu alam indrawi.
d.      Wahdatul adyann
Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-ady (kesamaan agama), bin ‘arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat muhamaddiyah.k onsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seseorang yang benar-benar arif adalah menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupanya, dengan kata lain dapat di katakan bahwa ibadah yang benar hendaknya abid memandang semua apa saja sebagai segbagian dari ruang lingkup realitas dzat tuhan yang tunggal sebagaimana ‘irnya, dikemukakannya dalam sya’irnya “kini Qalbuku bisa menampung semua Ilalang perburan kijang atau biara penderan Kuil pemuja berhala atau ka’bah Lau taurah dan mushalaf al-qur’an Aku hanya memeluk agama cinta ke mana pun Kendaraan-kendaraan menghadap. Karena cinta adalah  Agamaku dan imanku.
Menurut para penulis, pernyataa ibn ‘arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat sebab agama berbeda-beda satu sama lain.
2.      Al-Jili (1365-1417m)
a.       Biografi singkat al-jili
Nama lengkapnya adalah ‘abdul karim bin ibrahim al-jilil. Ia lahir pada tahun 1365 H. Di jilan (gilan), sebuah propinsi di sebelah selatan kaspia dn wafat pada tahun 1417 M. Nama al-jili di ambil dari tempat kelahirannya di glan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari baghad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke india tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir al-jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada syekh syafaruddin sima’il bin ibrahim AL-jabarti di zabid (yaman) pada tahun 1393-14-3 M.
b.      Ajaran tasawuf al-jili
Ajaran tasawuf al-jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna) menurut al-jili insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan, seperti di sebutkan dalam hadis Artinya: Allah menciptakan adam dalam bentuk yang maharman “ Hadis lain: Artinya “Allah menciptakan adam dalam bentuk dirinya”
c.       Maqamat (al-martabah)
Sebagai seorang sufi, al-jili dengan membawa filsafat inasn kamil merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menganut istilahnya ia disebut al-martabah (jenjang atau tingkat) tingkat itu adalah
1)      Islam
2)      Iman
3)      Shalah
4)      Ihsan
5)      Syahdah
6)      Shiddiqiyah
7)      Qurbah
3.      Ibnu Sabi’in
a.      Biografi singkat ibn sab’in
Nama lengkapnya adalah ibn sabi’in adalah ‘abdul haqq ibn ibrahim muhammad ibn nashr, seorang sufi yang jufa filosof dari andalusia. Dia terkenal di eropa karena jawaban-jawabannya ata pernyataan federik II, penguasa sicilia. Di dipanggil ibn sabi’in dan digelari Quthbuddin. Terkadang, ida dikenal pula dengan abu muhammad dan mempunyai asal-usul arab, dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218M) di kawasan murcia. Dia mempelajari bahasa arab dan sastra pada kelompok gurunya. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari mazhab maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa di antara guru-gurunya adalah ibn dihaq, yang di kenal dengan ilmu al-mir’ah (meniggal tahun 611 H) yang keduanya ahli tentang huruf dan nama. Menurut salah seorang murid ibn sabi’in, yang mansyarah kitab risalah al-‘abd hubungan antara ibn sabi’in dan gurunya tersebut lebih banyak terjalin lewat kitab dari pada langsung
b.      Ajaran tasawuf ibn sabi’in
Kesatuan mutlak
Ibn sabiin adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhanas saja, yaitu wujud adalah suatu alias wujud Allah semata. Wujud-wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu semata. Dengan demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang tetap.
BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Tasauf falsafi adlalah tasauf yang ajarannya-ajarannya memadukan antara visi dan mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasauwufakhlaqi, tasauf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafitersebut berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

B.     SARAN
Diharapkan kepada para pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami harapkan, untuk memotivasi penulis, agar dalam penyelesaian makalah ini bisa memperbaiki diri dari kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187
 Muhammad musthafa himli, al-hayat ar-ruhiyyah fi al-islm, al-ha’i al-misriy al’-ammah al-kitab, mesir, 1984, hlm. 182
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1977, hlm.


[1] Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187
[2] ibid
[3] Ibid.,
[4]Ibid, hlm. 188
[5] Ibid.
[6]Ibid.
[7] Ibid, hlm. 193
[8] Ibid.
[9] Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1977, hlm.
[10] Muhammad musthafa himli, al-hayat ar-ruhiyyah fi al-islm, al-ha’i al-misriy al’-ammah al-kitab, mesir, 1984, hlm. 182