BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Tasauf falsafi adlalah tasauf yang
ajarannya-ajarannya memadukan antara visi dan mistis dan visi rasional
pengasasnya. Berbeda dengan tasauwufakhlaqi, tasauf falsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafitersebut
berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokohnya.[1]
Tasawuf ada
beberapa aliran, seperti tasawuf Akhlaqi, tasawuf Sunni dan
tasawuf Falsafi. Adapula yang membagi tasawuf kedalam tasawuf 'Amali,
tasawuf Falsafi dan tasawuf 'Ilmi. Akan tetapi dalam
makalah kecil ini hanya akan dibahas secara lebih fokus tentang tasawuf Falsafi
saja.
Secara garis
besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara
visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis
dalam pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang
telah mempengaruhi para tokohnya.
B.
Rumusan
Masalah
Bagaimanakah perbandingan antara pebandingan tasawuf
falsafi dengan tasawuf yang lain.
C.
Tujuan
Penulian Ini Agar Kita Dapat Memahami-
1.
Apa itu tasauf falsafi menurut tokoh-tokoh
2.
Bagaimana sejarah tasauf falsafi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tasawuf Falsafi
Tasawuf
Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat)
dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi,
bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi
dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf
filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam
tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau
tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi
praktis (يلمعا ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (رطنا
) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio
dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam
kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan
mustahil.
Dari adanya
aliran tasawuf falsafi ini menurut saya sehingga muncullah
ambiguitas-ambiguitas dalam pemahaman tentang asal mula tasawuf itu sendiri.
kemudian muncul bebrapa teori yang mengungkapkan asal mula adanya ajaran
tasawuf. Pertama; tasawuf itu murni dari Islam bukan dari pengaruh dari non-
Islam. Kedua; tasawuf itu adalah kombinasi dari ajaran Islam dengan non-Islam
seperti Nasrani, Hidu-Budha, filsafat Barat (gnotisisme). Ketiga; bahwa tasawuf
itu bukan dari ajaran Islam atau pun yang lainnya melainkan independent.
Teori
pertama yang mengatakan bahwa tasawuf itu murni dari Islam dengan berlandaskan
QS. Qaf ayat 16 yang artinya “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahuapa yang
dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada
pembuluh darah yang ada dilehernya”. Ayat ini bukan hanya sebagai bukti atau
dasar bahwa tasawuf itu murni dari Islam meliankan salah satu ajaran yang utama
dalam tasawuf yaitu wihdatul wujud. Kemudian kami juga mengutip pendapat salah
satu tokoh tasawuf yang terkenal yaitu Abu Qasim Junnaid Al-Baqdady, menurutnya
“yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang yang mengetahui seluruh kandungan
al-qur’an dan sunnah”. Jadi menurut ahli sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik
‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari al- qur’an dan sunnah. Maka jelas
bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang tidak di syari’atkan oleh nabi akan
tetapi beliau juga mempraktikkannya. Buktinya sejak zaman beliau (nabi
Muhammada-red) juga ada kelompok yang mengasingkan diri dari dunia, sehingga
untuk menjaga kekhusuan mereka beliau memberi mereka tempat kepada mereka di
belakang muruh nabi. Meskipun istilah tasawuf itu belum ada tapi dapat di
sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan
diri pada Allah-red) sudah ada sejak zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri
sejatinya adalah seorang sufi yang sejati.
Kemudian
pendapat kedua yang mengatakan bahwa tasawuf adala kombinasi dari ajaran Islam
dengan yang lainnya (non-Islam). Mereka memberi contoh beberapa ajaran yang ada
di tasawuf sama dengan aliran (ajaran) lain, misal;
sumber dari Nasrani:
1. Konsep
Tawakal
2. Peranan
Syekh
3. Adanya
ajaran tentang menehan diri tidak menikah.
Abu Qasim
Junnaid Al-Baqdady, menurutnya “yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang
yang mengetahui seluruh kandungan al-qur’an dan sunnah”. Jadi menurut ahli
sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik ‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari
al- qur’an dan sunnah. Maka jelas bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang
tidak di syari’atkan oleh nabi akan tetapi beliau juga mempraktikkannya.
Buktinya sejak zaman beliau (nabi Muhammada-red) juga ada kelompok yang
mengasingkan diri dari dunia, sehingga untuk menjaga kekhusuan mereka beliau
memberi mereka tempat kepada mereka di belakang muruh nabi. Meskipun istilah
tasawuf itu belum ada tapi dapat di sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran
seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan diri pada Allah-red) sudah ada sejak
zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri sejatinya adalah seorang sufi yang
sejati. Kemudian pendapat kedua yang mengatakan bahwa tasawuf adala kombinasi
dari ajaran Islam dengan yang lainnya (non-Islam). Mereka memberi contoh
beberapa ajaran yang ada di tasawuf sama dengan aliran (ajaran) lain, misal;
sumber dari Nasrani:
1.Konsep Tawakal
2.Peranan Syekh
3.Adanya ajaran tentang menehan
diri tidak menikah.
sumber Hindu:
1. Al-fanah = Nirwana
2. Zuhud = menjahui dunia
sumber Yunani (fil. Barat):
1. Filsafat Ilmu jiwa
2. Filsafat Phytagoras
3. Filsafat Plotinus
4. Termasuk juga gnotisisme.
Dari sinilah
nampak ada kemiripan dalam ajaran setiapa masing yang diakibatkan dari
akulturasi sehingga terjadi penjumboan (bersatu) antara ajaran Islam dalam
tasawuf dengan yang lain.
Pendapat yang
ketiga ini yang mengatakan tasawuf itu bukan dari mana-mana yaitu independen,
dengan berdasarkan dengan kisah bahwa pada waktu itu ada seorang raja yang
hidup bergelimpangan dengan harta namun dia masih mengalami ketegangan dalam
hidupdalam artian jiwanya belum tenang, akhirnya atas nasihat dari seseorang
yang dia temui di hutan saat berburu mencoba
mengasingkan
diri ke bhutan
dan meninggalkan semua hartanya. sehingga dari sini dapat di tarik bahwa
tasawuf muncul untuk mengatasi kebosan seseorang dari kehidupan dunia tanpa
adanya spiritualitas dalam jiwa sehingga mengalami kekeringan jiwa, yang
kemudian diisi kembali dengan nilai spiritualitas dengan menjahui kehidupan
dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dari pemaparan di atas dapat kita
tarik kesimpulan bahwa tasawuf itu benar-benar asali (murni) dari ajaran Islam
yang tidak di syari’atkan atau di sunnahkan oleh nabi meskipun beliau juga
melakukanya. Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari
akulturasi ajaran lain termasuk gnotis itu juga tidak bisa disalahkan, sebab
adanya pengklasifikasian tasawuf sehingga muncul beberapa tasawuf, seperti
tasawuf sunni, salafi dan tasawuf falsafi membuat determinasi diantaranya. maka
jikalau dikatakan tasawuf adalah akulturasi antara Islam dengan yang lain itu
termasuk tasawuf falsafi yang mana telah mengedepankan asas rasio sehingga
berbaur dengan fisafat-filsafat yang ada di ajaran lain, dimana dalam
menganalisis tasawuf dengan paham emanasi Neo- platonisme dalam semua fariasi
baik dari Ibn Sina samapai Mulla Shadra.
B.
Tasawuf
Falsafi
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlawi, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi gilosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi
tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para
tokohnya.
Menurut
at-taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam
sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Sejak tiu, tasawuf jenis ini tersu hidup dan berkembang, terutamadi
kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.[2]
Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini
dengan senidirnya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur
dengan sejumlah ajaran filsafat di luar islam, seperti yunani, persia, india, dan agama nashari. Akan
tetapi, orisianiltasnya sebagai tasawuf tetap tidak hlang. Sebab, meskipun
mempunya latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam,
seiring dengan ekspansi islam, yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya
tetap berusaham menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, teruutama bla
dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat islam. Sikap ini dengna sendirinya
dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu igih
mempromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam tersebut ke
dalam tasawif mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat,
tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajran tasawuf yang mereka anut.
Masih menurut
at-taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar
akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini.[3]
Tasawuf falsafi tidak dapat di pandang sebagai filsafat karena ajaran dan
metodenya didasarkan padarasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula di kategorikan
sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajrannya sering
diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[4]
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini
mengenal dengan baik filsafat yunani seta berbagai aliran seperti socrates,
plato, aristoteles, alira stoa, dan aliran neo-platonisme, dengan filsafatnya
tentang emanasi. Bahkan, mereka pun cukup akbar dengan filsafat yang sering
kali disebut hermenetisme yang karya-karyanya banyak di terjemahkan ke dalam
bahasa arab dan filsafat-filsafat timur kuno, baik dari persia maupun india, serta filsafat-filsafat
islam, seperti yang diajarkan oleh al-farabidan ibn sina. Mereka pun
dipengaruhi aliran batiniah sekte isma'iliyyah aliran syi’ah dan
risalah-risalah ikhwan ash-shafa’.[5]
Tasauf falsafi
memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasauf sunni. Dalam hal ini, ibnu
khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh at-taftazani,[6]
dalam karyanya al-muqaddimah menyimpulkan bahwa ada emapat objek utama yang
menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain sebagi berikut.
Pertama, latihan rohaniah dengan rasa,
instusi serta intropeksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah
dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq) para
sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi sunni, sebab, masalah
tersebut, menurut ibnu khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat di tolak
oleh siapapun.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap
dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu,
kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang
tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptanya. Serta pencipatannya.
Mengenai ilminasi ini, para sufi yang juga filosof tersebut melakukan latihan
rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengna jalan
menggiatkan dzikir. Dengan dzikir, menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat
realitas-realitas.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun
kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau
keluarbiasaan.
Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang
pengertiannya sepintas samar-samar (syathayyat) yang dalam hal ini telah
melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, ataupun
menginterprestasikannya dengan interprestasi yang berbeda-beda...
Selain karakteristik umu di
atas, tasawuf filosofis mempunyai beberapa karakteristik secara khusu di
antaranya:
Pertama: tasawuf filosofi banyak
mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran
rasional-filosfis dan perasaan (dzauq). Meskipun demikian, tasauf jenis ini
juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah,
tetapi dengan interprestasi dan ungkapan yang samar-samar sulit di pahami orang
lain. Kalaupun dapat diinterprestsikan orang lain, interprestasi itu cenderung
kurang tepat dan lebih bersifat subjektif.
Kedua seperti halnya tasauf jenis lain,
tasauf filosofis didasakan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah) yang di
maksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan.
Ketiga tasawuf filosofi memandang iluminasi
sebagi metode untk mengetahui berbagai hakikat tealitas, yang menurut
penganutnya bisa dicapai dengan fana.
Keempat, para penganut tasawuf filosofi ini
selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas dengan
berbagai simbol atau terminologi.
Perlu di
catat, dalam beberapa segi, para sufi-filosof ini melebihi para sufi sunni. Hal
ini disebabkan oleh bberapa hal. Pertama, mereka adalah para teoritisi yang
baik tentang wujud, sebagaimana terlihat dalam karya-karya atau pusis-pusisi
mereka. Untuk yang satu ini, mereka tidak menggunakan ungkapan-ungkapan
syathadiyat. Kedua kelihaian mereka menggunakan simbo-simbol sehingga
ajarannya tidak begitu saja dapat di pahami orang lain di luar mereka. Ketiga,
kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilmunuya.[7]
Di antar
tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah ibnu arabi, al-jili, ibn sb’in, dan ibn
masarrah.
C. Tokoh tasawuf falsafi
1.
Ibn ‘Arabi
(560-638)
a.
Biografi
Singkat Ibn’arabi
Nama lengkap ibn ‘arabi adalah muhammad bin ‘ali bin
ahmad bin ‘abdullah ath-tha’i al-haitami. Ia lahir di mercia, andalusia tenggara,
spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuan. Tahun 620
H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal di sana pada tahun 638 H. Namaya biasa di
sebut tanpa Al untuk membedakan dengan abu bakar tanpa “al” untuk membedakan
dengan abu bakar ibn al-‘arabi seorang qadhi dari sevilla yang wafat tahun 543
H. Di sevilla (spanyol), ia mempelajari al-Qur’an, hadis serta fiqih pada
sejumlah murid andalusia terkenal, yakni ibn hazm az-zhahiri.[8]
b.
Ajarn-ajarn
tasawuf ibn’arabi
Wahdat al-wujud
Ajaran sentral ibn ‘ibn arabi adalah tentang wahdat
al-wujud (keastuan wujud). Meskipun demkian, istilah wahdat al-wujud yang di
pakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi
berasal dari ibnu taimiyah, tokoh yang hwahdat al-wujud untuk menyebut ajaran
sentral ibn ‘arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian
wahdar al-wujud.
Menurut ibnu taimiyah wadah al-wujud adalah
penyamaan tuhan dengan alam menurut penjelasannya, orang yang mempunya paham
wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib
al-wujud yang di miliki oleh khliq juga mukmin al-wujud yabg di miliki oleh
makhluk, selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga
mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada perbedaan.[9]
Dari pengertian
tersebut, ibn taimiyah telah menilai ajarn sentral ibn ‘arabi dari aspek
tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya
dari asek tanzihnya (penyusia khaliq). Sebag, kedua aspek tiu terdapat dalam
ajaran ibn ‘arabi akan tetapi , perlu pula di dasari bahwa kata-kata ibn
‘arabi. Banyak membawa pada pengertian seperti yang pahami oleh ibn taimiyah
meskipun di tempat lain terdapat kata-kata inb ‘arabi yang membedakan antara
khaliw dengan makhluk dan antara tuhan dengan alam.
Demi syu’ur (perasaa) ku, siapakah yang mukallaf?
Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada
hakikatnya) tuhan juga. Atau engkau katakan tuhan, lalu siapa yang di
bebani talif?” Kalau di antara khaliq dan makhluk beratu dalam wujidnya, megapa
terlihat dua? Ibn ‘arabi menjawab, sebab adalah manusia tidak memandangnya
darisisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya
adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi lain. Jika mereka
merasa memandang keduanya dari sisi yang satu, mereka pasti akan dapat
mengetahui hakikat keduannya, yakni dzatnya satu yang tidak terbiang dan
berpisah.[10]
c.
Haqiqah
muhamaddiyah
Dari konsep wahdat ibn ‘arabi muncul lagi dua konsep
sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu
konsep al-hakikat al muhamaddiyah dan konsep wahdat al-dyan (kesamaan agama) Menurut
ibn ‘arabi, tuhan adalah pencipat alam semsesta adapun proses penciptaannya
adalah sebagai berikut:
1) Tajalli
dzat tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
2) Tanzul
kepada dzat tuhan ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu
alam arwah yang mujarrad
3) Tanazul
kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4) Tanazul
tuhan dalam bentk ide materi yang bukan materi yaitu alam mistal atau khayal.
5) Alam
materi, yaitu alam indrawi.
d. Wahdatul
adyann
Adapun yang
berkenaan dengan konsepnya wahdat al-ady (kesamaan agama), bin ‘arabi memandang
bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat muhamaddiyah.k onsekuensinya,
semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seseorang yang
benar-benar arif adalah menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupanya, dengan
kata lain dapat di katakan bahwa ibadah yang benar hendaknya abid memandang
semua apa saja sebagai segbagian dari ruang lingkup realitas dzat tuhan yang
tunggal sebagaimana ‘irnya, dikemukakannya dalam sya’irnya “kini Qalbuku bisa
menampung semua Ilalang perburan kijang atau biara penderan Kuil pemuja berhala
atau ka’bah Lau taurah dan mushalaf al-qur’an Aku hanya memeluk agama cinta ke
mana pun Kendaraan-kendaraan menghadap. Karena cinta adalah Agamaku dan imanku.
Menurut para penulis, pernyataa ibn ‘arabi ini terlalu
berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat sebab agama berbeda-beda satu
sama lain.
2.
Al-Jili
(1365-1417m)
a.
Biografi singkat al-jili
Nama lengkapnya adalah ‘abdul karim bin ibrahim
al-jilil. Ia lahir pada tahun 1365 H. Di jilan (gilan), sebuah propinsi di
sebelah selatan kaspia dn wafat pada tahun 1417 M. Nama al-jili di ambil dari
tempat kelahirannya di glan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari baghad.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah
sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke india tahun 1387 M. Kemudian
belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir al-jailani, seorang pendiri dan
pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula
pada syekh syafaruddin sima’il bin ibrahim AL-jabarti di zabid (yaman) pada
tahun 1393-14-3 M.
b. Ajaran
tasawuf al-jili
Ajaran tasawuf al-jili yang terpenting adalah paham insan kamil
(manusia sempurna) menurut al-jili insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan,
seperti di sebutkan dalam hadis Artinya: Allah menciptakan adam dalam bentuk
yang maharman “ Hadis lain: Artinya “Allah
menciptakan adam dalam bentuk dirinya”
c. Maqamat
(al-martabah)
Sebagai seorang sufi, al-jili dengan membawa
filsafat inasn kamil merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi,
yang menganut istilahnya ia disebut al-martabah (jenjang atau tingkat) tingkat
itu adalah
1)
Islam
2)
Iman
3)
Shalah
4)
Ihsan
5)
Syahdah
6)
Shiddiqiyah
7)
Qurbah
3.
Ibnu Sabi’in
a.
Biografi
singkat ibn sab’in
Nama lengkapnya adalah ibn sabi’in adalah ‘abdul
haqq ibn ibrahim muhammad ibn nashr, seorang sufi yang jufa filosof dari
andalusia. Dia terkenal di eropa karena jawaban-jawabannya ata pernyataan
federik II, penguasa sicilia. Di dipanggil ibn sabi’in dan digelari Quthbuddin.
Terkadang, ida dikenal pula dengan abu muhammad dan mempunyai asal-usul arab,
dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218M) di kawasan murcia. Dia mempelajari bahasa arab
dan sastra pada kelompok gurunya. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari
mazhab maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa di antara
guru-gurunya adalah ibn dihaq, yang di kenal dengan ilmu al-mir’ah (meniggal
tahun 611 H) yang keduanya ahli tentang huruf dan nama. Menurut salah seorang
murid ibn sabi’in, yang mansyarah kitab risalah al-‘abd hubungan antara ibn
sabi’in dan gurunya tersebut lebih banyak terjalin lewat kitab dari pada
langsung
b.
Ajaran
tasawuf ibn sabi’in
Kesatuan mutlak
Ibn sabiin adalah seorang pengasas sebuah paham
dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak.
Gagasan esensial pahamnya sederhanas saja, yaitu wujud adalah suatu alias wujud
Allah semata. Wujud-wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri.
Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari
wujud yang satu semata. Dengan demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu
persoalan yang tetap.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tasauf falsafi
adlalah tasauf yang ajarannya-ajarannya memadukan antara visi dan mistis dan
visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasauwufakhlaqi, tasauf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi
falsafitersebut berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf
Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat)
dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi,
bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi
dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf
filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
B.
SARAN
Diharapkan
kepada para pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat mengembangkan lebih
sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami harapkan, untuk memotivasi penulis,
agar dalam penyelesaian makalah ini bisa memperbaiki diri dari kesalahan, atas
partisipasinya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi
At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi
At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,
Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung,
1985, hlm, 187
Muhammad musthafa himli, al-hayat ar-ruhiyyah fi al-islm, al-ha’i al-misriy al’-ammah al-kitab,
mesir, 1984, hlm. 182
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli,
Ibn Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1977,
hlm.
[1] Abu
Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i
ustmani, Pustaka, Bandung,
1985, hlm, 187
[2] ibid
[3] Ibid.,
[4]Ibid,
hlm. 188
[5]
Ibid.
[6]Ibid.
[7]
Ibid, hlm. 193
[8]
Ibid.
[9] Muhammad
Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah,
Damaskus, 1397 H/1977, hlm.
[10] Muhammad
musthafa himli, al-hayat ar-ruhiyyah fi al-islm, al-ha’i al-misriy al’-ammah
al-kitab, mesir, 1984, hlm. 182